Indonesia Butuh Pengajar dan Modul Pengajaran Al Qura'an Braille

By Admin

nusakini.com-- Pengajaran Al-Qur'an Braille bagi masyarakat Muslim Indonesia penyandang tunanetra perlu terus ditingkatkan. Indonesia masih membutuhkan tenaga pengajar sekaligus modul dan bahan ajar Al- Qur'an Braille. 

Demikian salah satu simpulan yang mengemuka dalam Seminar Hasil Penelitian tentang Pengajaran Al-Qur'an bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Tunanetra) yang dilakukan oleh tim peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Balitbang Diklat Kementerian Agama, Senin (25/7). 

Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di beberapa kota di 10 Provinsi, yaitu: Aceh, Bali, Sumatera Barat (Payakumbuh dan Tebing Tinggi), Kalimantan Barat (Pontianak), Sulawesi Selatan (Makassar), Kalimantan Selatan (Martapura), Sumatera Selatan (Palembang), Bengkulu, Sulawesi Tengah (Palu), dan Lampung. 

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung proses pembelajaran di sejumlah lembaga pendidikan tunanetra yang menjadi objek penelitian, antara lain: Ruma Seujahtra Beujroh Merkarya Aceh, Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tunanetra dan Media Adaptive Lampung, Yayasan Arrahmah Pontianak, SLB ABCD Muhammadiyah Palu, dan sejumlah lembaga lainnya. Proses penelitian dilakukan selama 10 hari pada rentang bulan Maret April 2016. 

Ketua Tim Peneliti LPMA Ahmad Jaeni kepada Pinmas, Senin (25/07), menjelaskan bahwa penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahun 2015. Penelitian ini salah satunya berangkat dari data PBB bahwa perbandingan antara jumlah tunanetra di Indonesia yang pernah mengikuti pendidikan dengan yang belum sangat mencolok. Dari 1,5 juta tunanetra dewasa, yang pernah mengenyam pendidikan hanya 21.300 orang.

Jika asumsinya yang beragama Islam ada 80%, maka hanya berjumlah 17.040 orang. Itupun menurut data Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI), tunanetra yang bisa membaca Al Qur'an Braille baru berjumlah 5.408; sebuah angka yang menunjukkan rendahnya tingkat bebas buta baca Al-Qur'an Braille di kalangan tunanetra muslim Indonesia. 

Secara umum, penelitian ini memotret tingkat kebutuhan yang signifikan terhadap program training of trainer (ToT) untuk memperbanyak tenaga pengajar Al-Qur'an Braille. Beberapa upaya memang sudah dilakukan oleh sejumlah yayasan, namun masih bersifat sporadis dan belum tersistematis. 

Menurut Jaeni, hal ini tidak terlepas dari belum adanya pedoman baku pembelajaran Al-Qur'an Braille. Masing-masing pengajar di lembaga atau yayasan yang menjadi objek penelitian ini umumnya mengembangkan metode pembelajaran sendiri sesuai dengan pengalaman mereka dalam mengajar. 

Beberapa pengajar mengadopsi dan memodifikasi metode pembelajaran Al-Qur'an di kalangan awas (melihat), antara lain: qiraati, iqra', al-Baghdady, dan Ummy. Sebagian lain mengembangkan sendiri sesuai pengalaman masing-masing, misalnya dengan metode saman dan metode 10 jam.

"Para pengajar Al-Qur'an Braille umumnya merasa belum memperoleh buku pegangan pembelajaran yang memuaskan," jelasnya. Temuan lain dari penelitian ini adalah perlunya penguatan pembelajaran tajwid bagi para guru pembimbing pengajaran Al-Qur'an Braille. 

Atas beberapa temuan ini, tim peneliti Lajnah merekomendasikan langkah tindak lanjut kepada Kementerian Agama dan pihak terkait untuk melakukan sejumlah program, antara lain: ToT Guru Pengajar Al-Qur'an Braille, Penyusunan Modul Pembejaran Al-Qur'an Braille, dan Penyusunan Pedoman Khusus pembelajaran tajwid bagi pembaca Al-Qur'an Braille. 

Selain itu, Kementerian Agama bersama lembaga yang concern terhadap peningkatan kapasitas anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat menjalin kerjasama yang lebih intensif untuk terus memberikan perhatian terhadap kalangan tunanetra, khususnya dalam mengajarkan kemampuan membaca Al-Qur'an Braille. 

Penelitian tim LPMA ini diapresiasi oleh para narasumber seminar. Sekretaris Balitbang Diklat Kemenag Rahmat Mulyana memandang penelitian ini penting dalam rangka searching capacity atau menangkap apa yang dibutuhkan stakeholders. "Penelitian ini penting, karena penyandang disabilitas netra sejumlah penduduk Singapura," tegasnya. 

Namun demikian, Rahmat Mulyana menggarisbawahi penyajian hasil penelitian yang masih butuh dukungan data dan cenderung deskriptif. Rahmat berharap para peneliti bisa mengambil benang merah dari hasil penelitian di 10 provinsi dan menentukan highlight yang bisa dikembangkan dan ditindaklanjuti ke depan, apakah metodenya, proses pembelajaran, modul, dan lainnya. Oleh karena itu, menurut narasumber lainnya Amin Haedari, penelitian ini harus dilanjutkan dengan action researh agar sebuah model pengajaran Al-Qur'an yang efektif benar-benar dapat ditemukan. 

Senada dengan Rahmat, narasumber dari ITMI, Yayat Rukhiyat juga mengapresiasi penelitian tim LPMA sehingga permasalahan di lembaga pendidikan Braille terekam. Yayat memandang perlunya pemetaan asal ketunanetraan dan jenisnya, apakah terkait fisiknya (perabaan), faktor intelegensi, kebutuhan alat bantu, atau lainnya. Yayat mengamini rekomendasi penelitian ini tentang perlunya metode pembelajaran yang bisa menjadi model. "Meskipun tidak harus ditetapkan secara kaku, tetap harus ada yang standar," ujarnya. 

Salah satu peserta tunanetra dari SLB Lebak Bulus, Abbas Sukardi mendorong LPMA untuk bisa segera membuat modul pembelajaran Al Qur'an Braille. Sebagai pengajar Al-Qur'an Braille, Abas mengaku bahwa banyak metode dalam pengajaran Al-Qur'an Braille. Dia sendiri telah menyusun buku Pandai Membaca Al-Qur'an Braille. Namun demikian, Abas mendukung jika LPMA segera menerbitkan modul pembelajaran.  

Kementerian Agama melalui LPMA terus berupaya meningkatkan layanan pembelajaran Al-Qur'an terhadap masyarakat berkebutuhan khusus. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah dengan menerbitkan Pedoman Membaca Dan Menulis Al-Qur'an Braille, Juz 'Amma dan Terjemahnya Braille dan Al-Qur'an Braille dan Terjemahnya 30 juz. Berdasarkan temuan penelitian ini, perhatian terhadap penyandang tunanetra perlu terus ditingkatkan dengan melaukan ToT pembelajaran Al-Qur'an Braille dan penyusunan sejumlah modul. (p/ab)